Saling Sindir PDIP dan Nasdem Buntut Deklarasi Capres Anies Baswedan

JAKARTA | Dua partai koalisi pemerintah, NasDem dan PDIP terlibat aksi saling sindir dalam sepekan terakhir buntut deklarasi Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) di Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024.

NasDem mendeklarasikan Anies sebagai capres untuk Pilpres 2024 pada Senin (3/10) lalu. PDIP menyebut deklarasi itu mengganggu konsentrasi pemerintah mengatasi masalah ekonomi.

Pernyataan itu disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto. Dia menuding deklarasi itu sebagai sinyal NasDem yang ingin agar Jokowi lekas diganti sebagai Presiden.

Dalam agenda di kantor pusat DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Hasto bahkan menyebut NasDem telah keluar dari partai koalisi pemerintah.

Dia menyamakan NasDem dengan warna biru pada bendera Belanda yang di akhir masa penjajahan dicopot oleh para pahlawan kemerdekaan. Sekarang, katanya, ada pula partai berwarna biru yang keluar dari pemerintah usai memiliki capres.

“Itu di Hotel Yamato, di mana para pejuang kita kan ada bendera Belanda, birunya dilepas. Dan ternyata birunya juga terlepas kan dari pemerintahan pak Jokowi sekarang karena punya calon presiden sendiri,” ujar Hasto, Minggu (9/10).

NasDem pun angkat suara. Ketua DPP Partai NasDem, Willy Aditya menganggap pernyataan Hasto tak berdasar. Dia mempertanyakan alasan Hasto yang menyebut NasDem telah keluar dari koalisi pemerintah hanya karena mendeklarasikan capres.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR itu mengaku heran sebab pernyataan Hasto seolah-olah mengukur koalisi hanya pada pencapresan seseorang. Padahal, NasDem kata dia selama ini selalu mendukung kebijakan pemerintah. Terutama lewat menteri-menterinya di kabinet.

“Sejauh ini menteri-menteri NasDem selalu segaris dengan arahan Presiden Jokowi. Apa ada sikap NasDem yang bertentangan dengan pemerintahan saat ini? Tidak!” Kata Willy.

Willy lantas mempertanyakan sikap PDIP yang justru lembek terhadap deklarasi Prabowo sebagai capres partainya, Gerindra jauh hari sebelumnya. Padahal, Gerindra sama-sama partai koalisi pemerintah.

“Koalisi itu didasarkan pada apa sih? Pada pencapresan seseorang? Gerindra kenapa tidak disebut lepas juga jika begitu,” kata dia.

Willy menambahkan, persoalan politik di koalisi pemerintah saat ini mestinya tak hanya diukur dengan pencapresan. Dia mengajak semua pihak untuk membangun iklim politik yang mencerdaskan.

Menurut dia, prinsip berpolitik adalah gagasan dan tawaran kepada publik.

“Masa ukurannya karena mencapreskan seseorang? Terlalu kerdil lah cara berpikir seseorang jika begitu argumentasinya,” kata dia.

Terbaru, Hasto menyindir soal keterkaitan antara banjir di Jakarta belakangan dan deklarasi Anies Baswedan sebagai capres 2024.

“Sering kali politik itu melupakan bagaimana alam juga berbicara. Jadi ini saya di Jogja kan, ketika saya ketemu datang di Jogja banyak yang bertanya ini,” kata Hasto di UGM, Sleman, Senin (10/10).

“Setelah Anies dideklarasikan kenapa alam tidak bersahabat, lalu muncul banyak banjir. Itu pertanyaan masyarakat. Itu NasDem yang harus menjawab,” sambungnya.

Hasto berujar, NasDem memiliki tanggungjawab menjadi tameng Anies. Sama logikanya ketika PDIP berdiri di depan Joko Widodo yang baru saja diumumkan sebagai calon presiden pada 2014 silam.

“Dulu ketika Pak Jokowi jadi gubernur (DKI Jakarta) kami calonkan sebagai presiden yang pertama kali kan PDIP. Ketika ada apa-apa dengan Pak Jokowi kami yang di depan. Itu hukum demokrasi,” tegas Hasto.

Sumber: CNN Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *